Monday, December 22, 2008

CHILD TRAFFICKING IN INDIA


Pada suatu malam acara berjudul "Slave Girls of India" oleh Lisa Ling, yang tayang di salah satu televisi membuat saya terenyuh melihat semakin bahanyanya ancaman "pelacuran anak" yang ada di India. Tentu saja tidak menutup mata di Indonesia pun terjadi hal tersebut dan Insya Allah tidak separah yang ada di India. Intinya cerita itu mengajak kita untuk berjaga tentang segala kemungkinan buruk yang terjadi pada anak-anak yang manis dan polos yang harus kita lindungi dan kita bangun sehingga kelak menjadi manusia yang berguna untuk dirinya, agamanya, keluarganya, bangsa dan negaranya.
Seorang jurnalis bernama Lisa Ling bersama team adalah si empunya cerita yang terjun langsung ke kota New Delhi menelusuri daerah kumuh yang mencekam karena begitu rapatnya organisasi child prostitution di sana sehingga harus menggunakan hidden cameras, menyamar, main umpet-umpetan menghadapi mucikari dan polisi setempat yang ternyata bersekongkol.
Para gadis kecil ada di tempat prostitusi tersebut salah satu penyebabnya adalah "dijual oleh keluarganya-baik itu oleh orang tua ataupun saudara mereka" karena tidak mampu membiayai kehidupan dan pendidikan anak mereka.
Seorang gadis bernama Rinku,19 tahun, mengisahkan pernah merasakan menjadi pelacur di umur 11 sampai 15 tahun. Meskipun ia berteriak-teriak untuk melawan tetapi tak seorangpun mendengarnya. Karena diselamatkan oleh suatu organisasi Rinku diasuh-dididik dan belajar bela diri agar dapat melindungi dirinya. Dan disanalah Rinku mengabdikan dirinya untuk ikut membebaskan gadis-gadis belia yang terlanjur terjun berprofesi sebagai pelacur.
Di India para orangtua yang kehilangan anak-anak mereka berunjuk rasa di New Delhi.
Mereka menuntut para pejabat untuk menemukan anak-anak mereka. Pasalnya mereka khawatir, anak-anak itu telah menjadi korban perdagangan manusia.
Masalah ini sudah sangat parah sehingga laporan perdagangan manusia yang dibuat Amerika menempatkan India dalam peringkat kedua. Laporan itu menyebutkan, India adalah sumber, tempat, dan transit bagi para lelaki, perempuan serta anak-anak yang diperdagangkan untuk kerja paksa serta dijerumuskan menjadi pekerja seks komersil.
Munna, 16 tahun, sering pergi ke toko musik dan mendengarkan lagu-lagu India. Itulah hobinya. Enam tahun lalu, ia diculik dari salah satu toko itu. Setahun kemudian ia dibebaskan, tapi tanpa tangan kanan dan kaki kirinya.
Dia mengatakan, para penculik memotong bagian tubuh itu supaya dia bisa menghasilkan lebih banyak uang sebagai pengemis.
Madadeve Muthia berdoa supaya hal itu tidak menimpa kelima anaknya. Delapan bulan lalu mereka hilang dari tempat tinggalnya yang terletak di wilayah kesukuan di negara bagian Assam.
“Waktu itu, kami pergi ke acara pernikahan dan meninggalkan anak-anak kami di rumah. Tapi, setelah kami kembali mereka tidak ada di sana. Saya cari mereka di mana-mana tapi tidak menemukan mereka. Saya minta tolong sama warga desa tapi, mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah itu, saya melaporkan ke polisi tapi mereka juga tidak melakukan apa-apa. Saya kemudian pergi lagi ke polisi dan melaporkan lagi masalah ini. Tapi, mereka mengatakan masalah saya hanya bisa diselesaikan di Ibukota Delhi. Jadi saya pergi ke sini.“

Ia ikut aksi unjuk rasa duduk dengan para orangtua lainnya di Jantar Mantar. Mereka sudah berada di sana selama sebulan lebih, dan berharap para pejabat bisa membantu menemukan anak-anak mereka.
Anak perempuan Manish Kumar Das dan juga keponakan perempuannya berangkat dari Jharkhand ke ibukota tiga bulan lalu. Namun, dia belum mendapat kabar dari mereka.
“Kedua anak perempuan itu dikasih pekerjaan dan dibawa ke Delhi. Tapi, tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan mereka setelah mereka tiba di sana. Saya sudah coba mencari mereka dari Jharkhand sampai Delhi. Saya tidak tahu apa lagi yang saya harus lakukan dan ini membuat saya sangat gelisah. Polisi mengatakan pasti akan menemukan mereka. Tapi, mereka tidak melakukan apa-apa.”
Perdagangan manusia sangat memalukan bangsa India. Menurut Kantor Catatan Kejahatan, hampir 45 ribu orang hilang setiap tahun di India. Sebagian korban adalah anak-anak di bawah usia 12 tahun.
Aktivis sosial Devi Singh Suryawanshi mengatakan jumlah yang sebenarnya jauh lebih tinggi.
“Menteri Perburuhan Renuka Chaudri mengakui bahwa setiap tahun 44000 orang menjadi korban perdagangan manusia padahal jumlah sebenarnya mencapai 100.000 dan saya bisa membuktikan hal itu. Perbedaan jumlah ini, karena polisi sering tidak mendaftarkan laporan itu. Anak-anak dan orang dewasa diperjualbelikan. Para anak lelaki dijadikan buruh, sementara anak perempuan dijeremuskan ke pelacuran.”
Ravikant sekretaris Shakti Vahini, LSM yang mengkampenyakan pemberantasan perdagangan manusia mengungkapkan, jaringan pelaku perdagangan manusia itu tersusun rapih di seantero negeri.
“Delhi adalah tempat transit. Bukan saja bagi anak-anak perempuan India tapi juga anak-anak perempuan dari Nepal, Bangladesh, negara-negara Eropa Barat, Thailand dan negara lainnya diperdagangkan. Delhi adalah tempat transit untuk semua.“
Tapi, pejabat polisi berpendapat lain. Alok Verna juru bicara Kepolisian Delhi.
“Belum ada bukti bahwa penculikan sudah dilakukan secara teroganisir untuk kepentingan mengemis, prostitusi, atau kejahatan lainnya. Tapi, kami sudah menerima berbagai laporan orang hilang. Dan setiap kali ada laporan yang masuk maka polisi akan bertindak.”
Tapi pada kenyatannya, setiap tahun ribuan orang di India hilang tanpa jejak. Para orangtua seperti Manish Kumar Das tak rela anak-anak mereka menjadi korban.
“Pemerintah harus bertanggung jawab untuk menemukan anak-anak yang hilang. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum tuntutan kami dipenuhi.”

Sumber : Acara "Slave Girls of India" by Lisa Ling & berbagai sumber

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home